Biografi Tuanku Imam Bonjol Pahlawan Asal Minangkabau – Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung pada tanggal 1 Januari 1772 dengan slot server kamboja nama asli Muhammad Syahab. Ayahnya adalah Khatib Bayanuddin yang merupakan seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Ibunya Hamatun dan pamannya Syekh Usman adalah perantau bangsa Arab yang datang ke Alai Ganggo Mudik, dan diterima masuk ke dalam tatanan adat Minangkabau. Syekh Usman menjadi penghulu kaum keturunannya, sebagai bagian klan suku Koto. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Syahab sempat mendapat beberapa gelar kehormatan seperti Peto Syarif, Malin Basa, dan yang terakhir Tuanku Imam. Dalam tradisi adat Minangkabau, Tuanku merupakan gelar kehormatan bagi pemimpin agama. Hanya ulama yang telah menguasai ilmu agama Islam yang berhak mendapatkan gelar ini.
Tuanku Imam Bonjol adalah seorang ulama, pemimpin sekaligus pejuang yang berasal dari Sumatera Barat. Namanya dikenal karena berjasa selama berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dinamakan Perang Padri. Setelah 18 tahun peperangan itu terjadi, akhirnya kemenangan berada di pihak Belanda. Tuanku Imam Bonjol diasingkan oleh Belanda dan meninggal diusia 92 tahun di tempat pengasingannya. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. Merangkum dari buku Tuanku Imam Bonjol yang ditulis oleh Drs. Mardjani Martamin
Latar Belakang Pendidikan
Pengaruh keagamaan dari sang ayah sangat melekat pada diri Tuanku Imam Bonjol. Sedari kecil, dirinya diminta sang ayah untuk rajin sholat lima waktu, serta diberikan ajaran slot qris Islam sesuai syariat yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sayangnya, sang ayah meninggal saat Syahab masih berusia 7 tahun. Setelah ayahnya meninggal, pendidikan Syahab dilanjutkan oleh sang nenek, Tuanku Bandaharo yang tinggal di Kampung Padang Lawas dalam kenagarian Ganggo Hilir.
Bersama Tuanku Bandaharo, Syahab pergi belajar agama Islam kepada Tuanku Koto Tuo, seorang ulama dengan pengetahuan agama yang sangat luas di Empat Angkat Candung. Dari Tuanku Koto Tuo, Syahab memperoleh ilmu fikih dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi.
Sebagai murid yang sangat cerdas, Syahab dapat mempelajari semua pelajaran yang diberikan Tuanku Koto Tuo dalam waktu singkat. Setelah lulus, akhirnya tugas pengajar Tuanku Koto Tuo diserahkan ke Syahab dan mulai sejak itu ia mendapat gelar Malin Basa.
Dengan rasa ingin tahu yang sangat tinggi, Malin Basa melanjutkan pendidikan agama Islamnya hingga ke Aceh. Perjuangannya menuju Aceh amatlah sulit dan ia mendalami agama Islam di Aceh selama 2 tahun.
Selanjutnya kepada Tuanku Nan Renceh, Malin Basa menambah ilmu baru di Kamang. Karena kondisi di Minangkabau saat itu, Tuanku Nan Renceh tidak hanya mengajarkan pengetahuan agama Islam tetapi juga pengetahuan perang.
Bahkan pada akhirnya pendidikan Malin Basa di Kamang saat itu menitik beratkan ke pengetahuan perang. Bagaimana cara menunggangi kuda sambil memimpin pasukan, bagaimana taktik memimpin perang, bagaimana mencari tempat strategis untuk menyerang dan bertahan, dan ilmu perang lainnya.
Tuanku Imam Bonjol dan Perang Padri
Gerakan Padri di Minangkabau muncul pertama kali dilatar belakangi setelah tiga orang pulang haji dari Makkah pada 1803 yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Ketiga haji itu berniat ingin memperbaiki syariat Islam yang dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.
Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh ikut mendukung keinginan ketiga orang haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan. Harimau Nan Salapan kemudian meminta kepada Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu di beberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubukjambi.
Karena terdesak, pada 21 Februari 1821, kaum adat bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang dan disaksikan oleh sisa keluarga Kerajaan Pagaruyung. Sebagai kompensasi, Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).
Singkat cerita, ternyata keikutsertaan Belanda dalam Perang Padri menimbulkan penyesalan yang mengakibatkan rakyat Minangkabau menjadi sengsara. Akhirnya pada tahun 1833, perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Padri melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, pihak-pihak yang semula bertentangan bersatu melawan Belanda.